This awesome blogger theme comes under a Creative Commons license. They are free of charge to use as a theme for your blog and you can make changes to the templates to suit your needs.
RSS

BE YOURSELF DENGAN CARA YANG BENAR

Suatu penyakit genetic telah mengubah jalan hidupnya. Pada usia 10 tahun Mimi M Lusli yang terlahir normal mulai secara bertahap kehilangan penglihatannya akibat penyakit retinitis pigmentosa. Bangku sekolah dasar umum terpaksa harus ditinggalkan karena gangguan penglihatan menyulitkannya mengikuti proses belajar .Sambil terus berobat Mimi melanjutkan pendidikan di Sekolah Tunagrahita Bakti Luhur, Malang, Jawa Timur..
Saat usianya 17 tahun, wanita bernama lengkap Veronika Laetitia Mimi Mariani Lusli ini mengalami kebutaan total . Merasa sangat terpukul selama beberapa waktu ia memilih mengasingkan diri dari dunia luar. Sampai akhirya ia menyadari bahwa kondisinya masih lebih baik dibandingkan teman-teman tunagrahita yang punya mata tapi tidak pernah dipakai secara baik.
Dengan dibantu orangtua , keluarga dan pihak lain yang peduli dengannya, Mimi bangkit dari keterpurukan. Dengan susah payah bahkan sampai nangis Bombay, begitu istilah yang dipakainya, Mimi belajar menulis dan membaca Braille. Pendidikan di sekolah umum juga dilanjutkannya kembali
Pada tahun 1982, setelah menyelesaikan studi setara SMP di Malang Mimi melanjutkan ke Sekolah Pendidikan Guru (SPG) Santa Maria . Dia kemudian berhasil meraih gelar sarjananya di IKIP Santa Dharma Jogja tahun 1989.
Tak berhenti sampai disitu, wanita kelahiran 17 December ini mengambil program studi Master of Sains di Universitas Indonesia Depok tahun 1995. Bahkan dengan beasiswa dari British Council, Mimi telah menyelesaikan program studi Master of International Communication di Leeds University, Inggris. Saat ini pun ia teengah menemnpuh pendidikan S3 di Vrije Universiteit Amsterdam, Belanda
Mimi menggunakan cara-cara unik yang memudahkannya mengikuti proses belajar di sekolah umum dan perguruan tingggi. Dengan mesin tik, ia menuliskan jawaban latihan, ulangan dan ujian karena tak lagi bisa menuliskannya di kertas. Ketika harus membaca diktat perkuliahan, Mimi dibantu sejumlah teman serta saudara. Saat di perguruan tingggi, ia membawa tape recorder kecil untuk merekam mata kuliah supaya bisa dipelajari lagi di rumah .
“Berpikiran ‘AKU TIDAK BISA’ karena hanya tahu dan menggunakan satu cara serta berpandangan masyarakat tidak mau memahami penyandang cacat!,”jelas Mimi mengenai sikap-sikap yang dapat menghambat kemajuan seorang penyandang cacat.
Menurut Mimi, seorang penyadang cacat harus kreatif mencari cara-cara yang memudahkan melakukan kegiatan tertentu karena dengan kondisinya seringkali sulit beraktivitas dengan cara yang umum dilakukan orang nomal. Selain itu seorang penyandang cacat jangan segan-segan memulai interaksi dengan masyarakat sekitar karena sebagian besar masyarakat memang belum memahami bagaimana berinteraksi dengan penyandang cacat dan apa yang sesungguhnya mereka butuhkan.
Ketika HARMONI menanyakan cita-citanya,sambil tersenyum Mimi menjawab, “Tidak muluk-muluk. Hanya ingin membuat orang lain menjadi lebih baik.”.Tentu saja membuat kehidupan teman-teman penyandahng cacat menjadi lebih baik termasuk dalam cita-citanya. Menurut pengamatan dosen Universitas Atma Jaya, Jakarta ini berbagai usaha baik dari pemeritah maupu masyarakat untuk memperhatikan nasib para penyandang cacat saat ini memang jauh lebih baik. Tapi pelaksanaannya lebih sering bersifat seremonial dan belum menyentuh ke semua lapisan masyarakat karena kurangnya sosialisasi disabilitas.
Untuk merealisasikan cita-citanya, Mimi turut serta dalam pendirian beberapa organisasi yang peduli pada pengembangan dan memperjuangkan hak-hak penyandang cacat yaitu Himpunan Wanita Penyandadang Cacat Indonesia (HWPCI), Biro Pelayanan Penyandang Cacat Laetitia ,Yayasan Mitra Netra dan terakhir Mimi Institute
Mimi Institute adalah sebuah lembaga konsultasi, pelatihan dan publikasi yang bervisi mengarusutamakan dan membiasakan kecacatan ke tengah masyarakat untuk kehidupan yang lebih baik.Diharapkan lewat lembaga ini masyarakat mendapatkan pemahaman yang tepat tentang disabilitas dan penyandang cacat dapat diberdayakan lewat capacity building. Rencananya tahun depan Mimi Institute akan mendirikan sekolah pengembangan kepribadian bagi penyandang cacat remaja.
Bagi para penyandang cacat Mimi berpesan untuk menjadi diri sendiri dalam beraktivitas tanpa banyak mengeluh. Tak mengapa kalau harus berjalan ngesot atau beraktivitas dengan cara yang tak normal namun harus sesuai dengan norma kesopanan dan kepatutan.Justru dengan menjadi diri sendiri, penyandang cacat dapat membuka mata masyarakat bahwa kecacatan adalah sebuah keunikan.
Jadi kesimpulannya “Be yourself tapi dengan cara yang benar,” tegas Mimi menutup perbincangan.
(wahjoe wigati)

0 komentar:

Posting Komentar